Murah, hemat, aman dan nyaman itu lah kriteria yang dicari traveler muda. Alih-alih mencari pengalaman saya coba searching mengenai harga pesawat. Destinasi pertama langsung saya tujukan ke negara tetangga Malaysia. Emm, kenapa Malaysia? Ada alasan tersendiri mengenai negara ini.
- pertama, Malaysia merupakan border yang dekat dengan Indonesia, sehingga budaya dan bahasanya tak jauh berbeda.
- Kedua, negara yang tergabung dalam komunitas Asean bersama Indonesia ini telah tandatangan Kontrak bebas Visa selama 30 hari dengan pemerintah Indonesia, jadi tidak perlu lagi mengurus visa.
- Ketiga, adanya faktor saudara. Berlibur sekaligus bersilaturahmi bukan jadi hal yang sia-sia.
- Dan yang terakhir, ada kabar gembira kini air aisa hadir dengan promonya. Yang terakhir ini lah mendasari perjalanan saya.
AirAsia memberikan promo untuk hari raya aidil fitri dan bulan agustus. Momen tepat untuk berkunjung ke keluarga. Tiket pulang-pergi Yogyakarta-Kuala Lumpur ditawarkan Rp.570.000, harga yang cukup murah mengingat saya ambil waktu disaat banyak orang melakukan perjalanan untuk berhari raya. Tapi dengan penawaran AirAsia kali ini, berubahlah prinsip saya NAIK PESAWAT TERNYATA BISA LEBIH HEMAT, YANG PENTING CERMAT DAN AKURAT MEMILIH WAKTU DAN TEMPAT.
Ada perasaan was-was naik pesawat AirAsia pertama kali, Karena saya berangkat 7 hari sebelum tragedi pesawat MH17 di Ukraina. MH17 yang pesawat kelas oke saja mengalami kejadian seperti itu, nah gimana dengan AirAsia si-murah ini? Rasa takut muncul dengan alih-alih pesawat jatuh, roda patah, tergelincir, bahkan dibajak terjadi pada si-merah ini. Hingga hari yang ditunggu tiba, Kamis 24 Juli 2014, dari bandara international Adi Sucipto Yogyakarta pesawat AirAsia AK347 dengan Crew ramah mengantarkan saya terbang melihat samudera awan. Dengan penjelasan multi bahasa Indonesia,Melayu dan English mampu memberikan penjelasan yang jelas, sehingga menepis keraguan akan kendala perjalanan. Akhirnya landing di Kuala Lumpur International Airport nampak puluhan pesawat AirAsia lainnya menunggu giliran bekerja. Alhamdulillah, satu hal lagi berubah, “DONT JUDGE THE BOOK BY ITS COVER TERNYATA MEMANG BERLAKU” dan nilai plus untuk AirAsia
Sesampainya di Malaysia, saya banyak menemukan hal baru. Saya belajar budaya, teknologi, bahasa, solidaritas, kebersamaan dan keberagaman. Melihat Malaysia sebagai salah satu jembatan perkembangan ASEAN dan menjadi negara yang welcome dengan pendatang. Terbukti, wajah berbagai bangsa menyatu dalam satu negara. Bahasa melayu yang kental dengan wajah India, Pakistan, Myanmar, Indonesia dan China menyemarakkan suasana kekeluargaan di negara yang berpenduduk 30 juta tersebut. Dan “Kebersamaan merupakan awal dari perdamaian, KEBERAGAMAN ADALAH HAL YANG SALING MELENGKAPI DAN SOLIDARITAS HAL YANG MUTLAK UNTUK DICIPTAKAN”.
Berjalaan di highway, tak ubahnya seperti di jalan protokol kota-kota besar di Indonesia. MACET, ya memang benar, kondisi ini tak jauh beda. Tapi saya menemukan sisi lain yang membuat kecil hati. Disaat Indonesia ribut dengan mobil murah buatan asing, Malaysia justru sudah bangga menggunakan mobil dalam negerinya. PROTON, merek mobil yang memenuhi jalan raya. Sebuah tekad muncul untuk membenahi bangsa. “CINTAILAH PRODUK INDONESIA” Slogan yang memang saya rasakan nyata untuk mengembangkan ekonomi dalam negeri. Slogan yang sudah dijiwai rakyat-rakyat di luar sana dan beruntung saya merasakan langsung akan hal ini.
Belanja di pasar tradisional membuatku mengerti kondisi standar ekonomi di negara ini. Sayur, Daging, Ayam, Buah nampak mudah untuk membeli, tapi setelah hasil konversi ternyata harga juga lebih mahal daripada dalam negeri. Terlebih lagi, Malaysia bukanlah negara pertanian yang besar, sehingga kebutuhan pertanian harus diimpor. Memang benar, sepanjang saya menyusuri Kuala Lumpur dan selangor, tak nampak sawah dan perkebunan subur disana. Hanya pohon-pohon kerdil yang nampaknya tak cocok untuk bertanam. Bangganya menjadi Indonesia ketika “TONGKAT KAYU DAN BATU MENJADI TANAMAN”. Kehidupan memang serba lebih maju, tapi senyum rakyat Indonesia lebih sejahtera dengan kerja kerasnya.
Banyaknya wajah asing sebenarnya mengelabuhi tentang dimana saya berada, bahasa mandarin berkembang dan digunakan marak bersama bahasa inggris. Sementara wajah pakistan, bangladesh dan India berpacu untuk mempertahankan bahasa mereka. Terlebih di ibukota yang nampak mewah dan modern seperti Kuala Lumpur, menjadi saksi bahwa kota ini hampir kehilangan status ke melayu’annya. “MODERNISASI MEMANG AKAN TERUS TERJADI, TAPI BUDAYA TAK BOLEH PUNAH. BERSYUKUR TERLAHIR DI NEGARA PENUH DENGAN KEARIFAN BUDAYA DAN AKAN SELALU MENJAGANYA”
Momen saya berkunjung ke Malaysia tepat dimana saya dapat melewatkan takbir idul fitri berkumandang. Terasa berbeda merayakan lebaran di tanah jiran yang memiliki tradisi berbeda. Untung saja, saya mempunyai tante, adik dari ibu saya yang memang telah tinggal dan menetap di Malaysia. Walaupun hidup serba Malaysia, tapi saya tetap melihat INDONESIA di sana. Tradisi dan masakan yang disajikan tante dan sahabat-sahabatnya jelas resep Indonesia menyapa dalam kelezatannya mengalahkan kare ataupun nasi lemak yang biasa di jumpai di Malaysia. Saya yang datang ke Malaysia untuk mengantar silaturahmi kakek-nenek saya ke putri bungsunya melihat kekeluargaan yang memang seharusnya selalu terjalin dalam setiap kebersamaan dan berkat AirAsia persaudaraan dan kekeluargaan ini pun dapat terjalin dan akan selalu dipererat.
Kemudian dapat berkunjung ke tempat kawan di bukit bintang. terlihat suasana pub and bar sangat ramai di malam hari. Saya bertemu dengan kawan berkewarganegaraan australia, bersama teman dari China dan Malaysia. Layaknya kawan yang lama tak jumpa, berbagi pengalaman dan cerita menjadi hal yang menarik untuk menghangatkan suasana. “INILAH TEMAN SAYA, SAUDARA SAYA DARI BELAHAN DUNIA YANG BERBEDA”.
Tempat yang tak lupa saya kunjungi adalah batu cave dan masjid jameek, dua tempat religius yang sangat berbeda. Di batu cave saya beruntung karena mendapatkan momen ketika umat hindu sedang bersembahyang. Terasa keramahan umat hindu untuk mempersilahkan menikmati dan memahami rukun-rukun ibadah mereka. Ini lah perdamaian, perbedaan tak menghalangi kesempatan untuk belajar dan memahami. Tanpa ada curiga karena kebaikan kasih adalah tujuan dari antar agama. Sementara di masjed jameek, saya menemukan rutinitas umat islam melayu yang tak berbeda dengan umat islam indonesia. Perbedaan nampak dari setiap wajah ras yang ada. Tapi perbedaan itulah yang membuat saya kagum. Bahwa Islam telah mempersatukan masyarakat dunia. Dan memang seharusnya tak ada peperangan yang mengatas namakan agama, tak ada pembantaian massal atas siapa yang benar dan salah. Memang benar cita-cita bangsa ini, bahwa “PENJAJAHAN DIATAS DUNIA HARUS DIHAPUSKAN”
Masjid Jamek, Kuala Lumpur Malaysia
Batu Cave, Malaysia
Ini lah perjalan saya yang berharga berkat AirAsia, menemukan cinta pertama tentang harga pesawat murah, sadar akan pentingnya menghargai potensi bangsa, bersilaturahmi dengan keluarga dan kawan, serta merasakan kedamaian dalam perbedaan yang saling melengkapi. Terimakasih AirAsia, sebagai gerbang perdamaian dunia.
Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba blog 10 tahun AirAsia Indonesia. Untuk mengikutinya silahkan kunjungi link ini.